Sunday, February 14, 2016

Mesjid Al-Istiqomah Latar belakang, kiprah dan masa depannya


Bila anda berkunjung ke Desa Pasirkamuning 4 kilometer arah utara dari pusat kota kecamatan Telagasari, di perbatasan dengan desa Lemahduhur kecamatan Tempuran anda akan melihat sebuah mesjid, tidak terlalu besar, tapi cukup megah. Itulah mesjid Al-Istiqomah. Mesjid itu dibangun pada awal tahun 80an di atas tanah wakaf H.Sodik. Tak punya halaman, maklum pada awalnya mesjid itu dibangun dalam kondisi situasi “darurat”.

Latar belakang
Berawal dari situasi politik pada awal pemerintahan Orde Baru, ketika Pemerintahan Sukarno tumbang di tahun 1967, ummat Islam mendapat angin segar untuk melakukan pergerakan, baik pergerakan sosial maupun pergerakan politik. Saat itu kekuatan politik yang selalu menjadi momok bagi ummat Islam, PKI (Partai Komunis Indonesia) porak poranda hancur berantakan dibabat habis oleh  Pemerintah bersama TNI, sebagai akibat dari pengkhianatannya terhadap negara dengan peristiwa pemberontakan yang kita kenal Gerakan 30 September (G 30 S). Peritiwa tersebut terjadi tanggal 30 September 1965 yang mengakibatkan banyak perwira tinggi TNI tewas terbunuh menjadi korban kebiadaban gerakan tersebut yang didalangi PKI. Mereka menculik perwira-perwira TNI dini hari dari rumah masing-masing dan jenazah para perwira itu baru ditemukan beberapa hari kemudian di sebuah sumur tua di kawasan Lubang Buaya Jakarta Timur.
Pemerintah merangkul kekuatan sosial politik ummat Islam, bersama-sama menghabisi seluruh sisa-sisa kekuatan komunis PKI di seluruh pelosok negeri.

Ummat Islam di Pasirkamuning dan sekitarnya merespon situasi ini, terutama kalangan muda. Sebutlah Jeje Ahmad Fahrudin. Saat itu Jeje menjadi tokoh idola, khususnya di kalangan anak muda. Orangnya supel, cerdas, pandai dan pemberani, terutama ketika harus bermujadalah (berargumentasi). Tak heran ketika anak-anak muda di desa tersebut, bahkan ada pula dari desa-desa tetangga yang tertarik menjadi bagian dari pergerakannya. Jeje tidak sendiri. Tokoh muda lainnya ; Abdul Rosid dan Muhtar. Ketiganya bersaudara kakak beradik, yang merupakan putra-putra dari Ustad Hasan, tokoh agama terkemuka di Pasirkamuning. Mereka bertiga intens melakukan diskusi-diskusi tetang Islam. Bukan hanya itu, bahkan sampai pada persoalan-persoalan bagaimana kedudukan Islam dan bernegara, dan itu dilakukan di sembarang tempat, di warung, di rumah teman atau di mesjid.  Pengaruh dari kegiatan ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat desa Pasirkamuning, tapi juga berpengaruh ke level Kabupaten.
Perlu diketahui bahwa Jeje Fahrudin, Abdul Rosid dan Muhtar, ketiganya merupakan pegawai negeri (PNS). Jeje dan Muhtar bertugas sebagai guru agama (ustad) sedangkan Rosid guru SD. Karena kecemerlangannya di masyarakat, Pada tahun 1971 Jeje A Fahrudin ditarik oleh atasannya ke Kantor Departemen Agama Kabupaten Karawang menduduki jabatan Kepala Seksi Penerangan Agama Islam (Penais).

Satu saat (1971), seorang tokoh muda yang juga berprofesi sebagai tenaga medis, Toto Hendarto (Mantri Toto, alm) merelakan tempat tinggalnya menjadi “base camp”  kegiatan termasuk  pengajian. Padahal tempat itu bukanlah miliknya, tapi milik Sodik. Tempat itu bukan rumah tapi bagian belakang (dapur) rumah Sodik. Kala itu Toto belum punya rumah hingga harus tinggal di rumah orang lain. Disanalah kelompok tersebut melakukan pertemuan-pertemuan keagamaan (pengajian).
Muhtar dan Abdul Rosid mengambil alih posisi penting dengan secara resmi memberi nama pada kelompok pengajian ini dengan nama Al-Istiqomah. Menurut mereka, al-Istiqomah mengandung arti bahwa kelompok ini merupakan kelompok yang teguh dalam pendirian dan tegak dalam melaksanakan hukum Allah. Kedua tokoh di atas bertindak sebagai pemberi materi setiap pertemuan yang dilaksanakan setiap malam Kamis.  Tercatat nama-nama jamaah ; Nengkong, Nusin, Toto Hendarto , Iing Ibrohim, Ust Maksum, Enjo (Pasirkamuning), Hasan Basri, Kasim (Pondokbales), Kodri, Mada, Sodik, Amil Wanta, Carim, Kayo (Salem) Amat (Sindangpalay) dan ada sekitar belasan orang lagi yang saya lupa namanya. Setiap malam Kamis tempat yang sempit itu ( 5 x 3 meter) penuh sesak tidak bisa menampung jamaah.
Karena sempitnya tempat, maka pada tahun 1972 tempat pengajian dipindahkan ke rumah Nengkong tidak jauh dari tempat semula. Disana ada sebuah bale (balandongan) milik Nengkong yang berhimpitan dengan rumahnya. Tempatnya cukup luas bisa menampung jamaah hingga 50 orang. Metode pengajianpun diperbaharui dengan sistim jadwal pelajaran. Selain materi agama, sejak itu diajarkan pula materi pelajaran bahasa Inggris dengan pengajar Abdul Rosid. Pengajian berjalan bertahun-tahun di tempat itu.

Pada tahun 1973 terjadi sebuah “trgedi” di Mesjid Jamie Ikhwanul Muslimin (Pondokbales) yang saat itu baru dipindahkan dari lahan Ayah Uding yang kena gusur pelebaran tanah pengairan,  ke ke lahan H. Sadili. Nusin yang sedang menjadi khotib dalam sholat Jumat diturunkan oleh sorang jamaah (H.Gojali) dengan alasan bacaannya tidak fasih. Entah secara kebetulan atau memang sudah direncanakan, H.Gojali yang penduduk Dusun Tanjung Kalisari itu nekat memprotes khotib dengan kasarnya. Sejak peristiwa itu jamaah Al-Istiqomah yang sudah sejak lama sholat Jumat di mesjid Ayah Uding itu melaksanakan sholat Jumat di tempat pengajian awal yaitu dapurnya Sodik.
Rupanya peristiwa di atas menjadi motivasi tersendiri bagi jamaah Al-Istiqomah, untuk memiliki mesjid sendiri. Melalui beberapa tahapan dan musyawarah, akhirnya Sodik menyediakan lahan miliknya yang terletak di belakang rumahnya itu untuk dijadikan lahan pembangunan mesjid Al-Istiqomah. Dibentuklah panitia pembangunan mesjid Al-Istiqomah. Penulis berada di dalamnya. Dengan bergotong royong, menampung infaq, dan jariyah akhirnya pada tahun 1980 terwujudlah bangunan Mesjid walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Meski demikian, jamaah merasa lega dengan kepemilikan mesjid sendiri. Disanalah jamaah Al-Istiqomah melakukan kegiatan pengajian dan da’wah.

Kiprah
Tahun 1985 mesjid Al-Istiqomah mendapat bantuan pemerintah desa Pasirkamuning sebesar lima ratus ribu rupiah untuk rehabilitasi mesjid. Saat itu pemerintah Desa Pasirkamuning dipimpin oleh Iding Zaenal Abidin selaku Pjs Kepala Desa. Dengan bantuan tersebut mesjid Al-Istiqomah terlihat agak bagus dan pantas disebut masjid. Pada masa Iding menjabat Kepala Desa Pasirkamuning (1994) diapun membantu mesjid Al-Istiqomah sebesar dua juta rupiah untuk biaya rehabilitasi bagian-bagian yang dianggap perlu.
Meski dengan kesederhanaan pasilitas, jamaah yang dipimpin oleh Ustad Muhtar bisa melakukan kegiataan ibadah dan da’wah dengan baik. Jamaah semakin banyak, terbukti dengan kehadiran jamaah setiap malam Kamis dan Sholat Jumat yang semakin penuh. Hal ini disebabkan solidnya para jamaah dalam upaya memakmurkan masjid didasari “ukhuwah islamiyah”.
Seiring perjalanan waktu, menjelang tahun 2000 an, pengurus mesjid Al-Istiqomah ingin mesjid ini lebih bagus dengan berbagai pasilitas yang memadai. Dengan munculnya tokoh-tokoh baru, seperti Rahmat (menantu Sodik), Jarkasih Supriatna (adik kandung Ustd Muhtar) keinginan itu diwujudkan dengan membongkar seluruh bangunan mesjid lama dan kemudian dibangun dengan konstruksi modern seperti yang terlihat saat ini. Lebih megah, lebih sehat dan lebih nyaman. Tapi sayang kenyamanan itu terusik dengan terjadinya “gesekan” antara Ustd Muhtar dengan “penguasa baru” mesjid itu (Rahmat). Ustad Muhtar merasa ada yang tidak cocok dengan sikap dan perilaku Rahmat dalam mengelola mesjid. Akhirnya Ustad Muhtar mengambil langkah “mengalah” dengan memindahkan kegiatannya ke mushola Al-Ikhlas yang letaknya hanya berjarak sekitar 100 meter. Akibatnya, kekuatan jamaah seolah terbagi dua, terlebih ketika mushola Al-Ikhlas dijadikan tempat menyelenggarakan sholat Jumat. Sebagian besar para perintis Al-Istiqomah ikut kegiatan yang dipimpin Ustad Muhtar yang diyakini sebagai guru mereka, sedangkan kegiatan di mesjid Al-Istiqomah diteruskan oleh dua tokoh sentral yaitu Rahmat dan Jarkasih Supriatna.
Saat ini, tokoh sentral Jamaah Al-Istiqomah, Ustad Muhtar sudah sepuh, usianya sudah hampir 80 tahun. Kondisinya sudah sangat lemah dan sakit-sakitan, sehingga sudah tidak mampu lagi melakukan kegiatan seperti dulu. Abdul Rosid sudah meninggal di tahun 2004 sedangkan Jeje Fahrudin tinggal di kota Karawang dan beliaupun sudah sepuh. Mushola Al-Ikhlas yang dijadikan sentral kegiatan dawah menjadi sepi tanpa tokoh. Demikian pula dengan Masjid Al-Istiqomah yang nampak kurang berwibawa. Salah satu bukti, pernah terjadi di bulan Januari 2016, seseorang yang berani menegur Rahmat yang sedang berda’wah di mesjid ba’da sholat subuh, dengan cara kasar. Penegur itu beralasan Rahmat tidak layak berda’wah terbuka seperti itu karena bacaan arabnya (Quran dan hadist) tidak fasehat dan menyalahi kaidah membaca ayat Al-Quran.
Kedepan saya berharap mesjid itu dikelola secara terbuka mengingat mesjid itu dibangun dengan linangan air mata ummat Islam ditengah kondisi kekurangan dan keprihatinan. Tidak boleh ada “diktator”. Siapapun. 

Penulis : Kasim Suriadinata,S.Pd



2 comments :

  1. ouh jadi ini sejarah dimana berdirinya Al istiqomah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dsn Krajan Desa Pasirkamuning Kec.Telagasari Kab.Karawang

      Delete

Silahkan Komentar