Bila anda berkunjung ke Desa Pasirkamuning 4 kilometer arah
utara dari pusat kota kecamatan Telagasari, di perbatasan dengan desa
Lemahduhur kecamatan Tempuran anda akan melihat sebuah mesjid, tidak terlalu
besar, tapi cukup megah. Itulah mesjid Al-Istiqomah. Mesjid itu dibangun pada
awal tahun 80an di atas tanah wakaf H.Sodik. Tak punya halaman, maklum pada
awalnya mesjid itu dibangun dalam kondisi situasi “darurat”.
Latar belakang
Berawal dari situasi politik pada awal pemerintahan Orde
Baru, ketika Pemerintahan Sukarno tumbang di tahun 1967, ummat Islam mendapat
angin segar untuk melakukan pergerakan, baik pergerakan sosial maupun
pergerakan politik. Saat itu kekuatan politik yang selalu menjadi momok bagi
ummat Islam, PKI (Partai Komunis Indonesia) porak poranda hancur berantakan
dibabat habis oleh Pemerintah bersama
TNI, sebagai akibat dari pengkhianatannya terhadap negara dengan peristiwa
pemberontakan yang kita kenal Gerakan 30 September (G 30 S). Peritiwa tersebut
terjadi tanggal 30 September 1965 yang mengakibatkan banyak perwira tinggi TNI
tewas terbunuh menjadi korban kebiadaban gerakan tersebut yang didalangi PKI.
Mereka menculik perwira-perwira TNI dini hari dari rumah masing-masing dan
jenazah para perwira itu baru ditemukan beberapa hari kemudian di sebuah sumur
tua di kawasan Lubang Buaya Jakarta Timur.
Pemerintah merangkul kekuatan sosial politik ummat Islam,
bersama-sama menghabisi seluruh sisa-sisa kekuatan komunis PKI di seluruh
pelosok negeri.
Ummat Islam di Pasirkamuning dan sekitarnya merespon situasi
ini, terutama kalangan muda. Sebutlah Jeje Ahmad Fahrudin. Saat itu Jeje
menjadi tokoh idola, khususnya di kalangan anak muda. Orangnya supel, cerdas,
pandai dan pemberani, terutama ketika harus bermujadalah (berargumentasi). Tak
heran ketika anak-anak muda di desa tersebut, bahkan ada pula dari desa-desa
tetangga yang tertarik menjadi bagian dari pergerakannya. Jeje tidak sendiri.
Tokoh muda lainnya ; Abdul Rosid dan Muhtar. Ketiganya bersaudara kakak
beradik, yang merupakan putra-putra dari Ustad Hasan, tokoh agama terkemuka di
Pasirkamuning. Mereka bertiga intens melakukan diskusi-diskusi tetang Islam.
Bukan hanya itu, bahkan sampai pada persoalan-persoalan bagaimana kedudukan
Islam dan bernegara, dan itu dilakukan di sembarang tempat, di warung, di rumah
teman atau di mesjid. Pengaruh dari
kegiatan ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat desa Pasirkamuning, tapi
juga berpengaruh ke level Kabupaten.
Perlu diketahui bahwa Jeje Fahrudin, Abdul Rosid dan Muhtar,
ketiganya merupakan pegawai negeri (PNS). Jeje dan Muhtar bertugas sebagai guru
agama (ustad) sedangkan Rosid guru SD. Karena kecemerlangannya di masyarakat, Pada
tahun 1971 Jeje A Fahrudin ditarik oleh atasannya ke Kantor Departemen Agama
Kabupaten Karawang menduduki jabatan Kepala Seksi Penerangan Agama Islam
(Penais).
Satu saat (1971), seorang tokoh muda yang juga berprofesi
sebagai tenaga medis, Toto Hendarto (Mantri Toto, alm) merelakan tempat
tinggalnya menjadi “base camp” kegiatan
termasuk pengajian. Padahal tempat itu
bukanlah miliknya, tapi milik Sodik. Tempat itu bukan rumah tapi bagian belakang
(dapur) rumah Sodik. Kala itu Toto belum punya rumah hingga harus tinggal di
rumah orang lain. Disanalah kelompok tersebut melakukan pertemuan-pertemuan
keagamaan (pengajian).
Muhtar dan Abdul Rosid mengambil alih posisi penting dengan
secara resmi memberi nama pada kelompok pengajian ini dengan nama Al-Istiqomah.
Menurut mereka, al-Istiqomah mengandung arti bahwa kelompok ini merupakan
kelompok yang teguh dalam pendirian dan tegak dalam melaksanakan hukum Allah.
Kedua tokoh di atas bertindak sebagai pemberi materi setiap pertemuan yang
dilaksanakan setiap malam Kamis. Tercatat
nama-nama jamaah ; Nengkong, Nusin, Toto Hendarto , Iing Ibrohim, Ust Maksum,
Enjo (Pasirkamuning), Hasan Basri, Kasim (Pondokbales), Kodri, Mada, Sodik,
Amil Wanta, Carim, Kayo (Salem) Amat (Sindangpalay) dan ada sekitar belasan
orang lagi yang saya lupa namanya. Setiap malam Kamis tempat yang sempit itu (
5 x 3 meter) penuh sesak tidak bisa menampung jamaah.
Karena sempitnya tempat, maka pada tahun 1972 tempat
pengajian dipindahkan ke rumah Nengkong tidak jauh dari tempat semula. Disana
ada sebuah bale (balandongan) milik Nengkong yang berhimpitan dengan rumahnya.
Tempatnya cukup luas bisa menampung jamaah hingga 50 orang. Metode pengajianpun
diperbaharui dengan sistim jadwal pelajaran. Selain materi agama, sejak itu
diajarkan pula materi pelajaran bahasa Inggris dengan pengajar Abdul Rosid.
Pengajian berjalan bertahun-tahun di tempat itu.
Pada tahun 1973 terjadi sebuah “trgedi” di Mesjid Jamie
Ikhwanul Muslimin (Pondokbales) yang saat itu baru dipindahkan dari lahan Ayah
Uding yang kena gusur pelebaran tanah pengairan, ke ke lahan H. Sadili. Nusin yang sedang
menjadi khotib dalam sholat Jumat diturunkan oleh sorang jamaah (H.Gojali)
dengan alasan bacaannya tidak fasih. Entah secara kebetulan atau memang sudah
direncanakan, H.Gojali yang penduduk Dusun Tanjung Kalisari itu nekat memprotes
khotib dengan kasarnya. Sejak peristiwa itu jamaah Al-Istiqomah yang sudah
sejak lama sholat Jumat di mesjid Ayah Uding itu melaksanakan sholat Jumat di
tempat pengajian awal yaitu dapurnya Sodik.
Rupanya peristiwa di atas menjadi motivasi tersendiri bagi
jamaah Al-Istiqomah, untuk memiliki mesjid sendiri. Melalui beberapa tahapan
dan musyawarah, akhirnya Sodik menyediakan lahan miliknya yang terletak di
belakang rumahnya itu untuk dijadikan lahan pembangunan mesjid Al-Istiqomah.
Dibentuklah panitia pembangunan mesjid Al-Istiqomah. Penulis berada di
dalamnya. Dengan bergotong royong, menampung infaq, dan jariyah akhirnya pada
tahun 1980 terwujudlah bangunan Mesjid walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Meski demikian, jamaah merasa lega dengan kepemilikan mesjid sendiri. Disanalah
jamaah Al-Istiqomah melakukan kegiatan pengajian dan da’wah.
Kiprah
Tahun 1985 mesjid Al-Istiqomah mendapat bantuan pemerintah
desa Pasirkamuning sebesar lima ratus ribu rupiah untuk rehabilitasi mesjid.
Saat itu pemerintah Desa Pasirkamuning dipimpin oleh Iding Zaenal Abidin selaku
Pjs Kepala Desa. Dengan bantuan tersebut mesjid Al-Istiqomah terlihat agak
bagus dan pantas disebut masjid. Pada masa Iding menjabat Kepala Desa
Pasirkamuning (1994) diapun membantu mesjid Al-Istiqomah sebesar dua juta
rupiah untuk biaya rehabilitasi bagian-bagian yang dianggap perlu.
Meski dengan kesederhanaan pasilitas, jamaah yang dipimpin
oleh Ustad Muhtar bisa melakukan kegiataan ibadah dan da’wah dengan baik.
Jamaah semakin banyak, terbukti dengan kehadiran jamaah setiap malam Kamis dan
Sholat Jumat yang semakin penuh. Hal ini disebabkan solidnya para jamaah dalam
upaya memakmurkan masjid didasari “ukhuwah islamiyah”.
Seiring perjalanan waktu, menjelang tahun 2000 an, pengurus
mesjid Al-Istiqomah ingin mesjid ini lebih bagus dengan berbagai pasilitas yang
memadai. Dengan munculnya tokoh-tokoh baru, seperti Rahmat (menantu Sodik),
Jarkasih Supriatna (adik kandung Ustd Muhtar) keinginan itu diwujudkan dengan
membongkar seluruh bangunan mesjid lama dan kemudian dibangun dengan konstruksi
modern seperti yang terlihat saat ini. Lebih megah, lebih sehat dan lebih
nyaman. Tapi sayang kenyamanan itu terusik dengan terjadinya “gesekan” antara
Ustd Muhtar dengan “penguasa baru” mesjid itu (Rahmat). Ustad Muhtar merasa ada
yang tidak cocok dengan sikap dan perilaku Rahmat dalam mengelola mesjid.
Akhirnya Ustad Muhtar mengambil langkah “mengalah” dengan memindahkan
kegiatannya ke mushola Al-Ikhlas yang letaknya hanya berjarak sekitar 100
meter. Akibatnya, kekuatan jamaah seolah terbagi dua, terlebih ketika mushola
Al-Ikhlas dijadikan tempat menyelenggarakan sholat Jumat. Sebagian besar para
perintis Al-Istiqomah ikut kegiatan yang dipimpin Ustad Muhtar yang diyakini sebagai
guru mereka, sedangkan kegiatan di mesjid Al-Istiqomah diteruskan oleh dua
tokoh sentral yaitu Rahmat dan Jarkasih Supriatna.
Saat ini, tokoh sentral Jamaah Al-Istiqomah, Ustad Muhtar
sudah sepuh, usianya sudah hampir 80 tahun. Kondisinya sudah sangat lemah dan
sakit-sakitan, sehingga sudah tidak mampu lagi melakukan kegiatan seperti dulu.
Abdul Rosid sudah meninggal di tahun 2004 sedangkan Jeje Fahrudin tinggal di
kota Karawang dan beliaupun sudah sepuh. Mushola Al-Ikhlas yang dijadikan
sentral kegiatan dawah menjadi sepi tanpa tokoh. Demikian pula dengan Masjid
Al-Istiqomah yang nampak kurang berwibawa. Salah satu bukti, pernah terjadi di
bulan Januari 2016, seseorang yang berani menegur Rahmat yang sedang berda’wah
di mesjid ba’da sholat subuh, dengan cara kasar. Penegur itu beralasan Rahmat
tidak layak berda’wah terbuka seperti itu karena bacaan arabnya (Quran dan
hadist) tidak fasehat dan menyalahi kaidah membaca ayat Al-Quran.
Kedepan saya berharap mesjid itu dikelola secara terbuka
mengingat mesjid itu dibangun dengan linangan air mata ummat Islam ditengah
kondisi kekurangan dan keprihatinan. Tidak boleh ada “diktator”. Siapapun.
Penulis : Kasim Suriadinata,S.Pd
ouh jadi ini sejarah dimana berdirinya Al istiqomah
ReplyDeleteDsn Krajan Desa Pasirkamuning Kec.Telagasari Kab.Karawang
Delete