K.H.
A.F. Ghazali sepertinya bukan nama yang asing bagi masyarakat Muslim Sunda,
terutama kalangan pesantren dan masyarakat di desa-desa di tanah Pasundan ini. Namanya
adalah jaminan untuk urusan ceramah (dakwah billisan). Pada setiap kesempatan
ceramahnya, ia memilih bahasa Sunda sebagai medium menyampaikan pesan-pesan
agama kepada audiensnya. Pilihan tersebut disadari betul dalam konteks dirinya
sebagai manusia Sunda yang dibesarkan dalam rahim kebudayaan Sunda. Dan,
bukankah para nabi juga menggunakan bahasa lokal atau ujaran kaumnya
(billhughati qaumihim) dalam menyampaikan risalah kepada umatnya.
Strategi
tersebut boleh jadi menginspirasi Ghazali untuk memilih bahasa Sunda sebagai
pengantar dalam dakwahnya. Hasilnya, ceramah-ceramah yang disampaikan Ghazali
tidak hanya menjadi tontonan di panggung dan momen pengajian, tetapi juga
menjadi tuntunan yang menelisik lubuk terdalam kesadaraan para jemaahnya.
Tidak
semua da’i memiliki keahlian berceramah yang memikat seperti Ghazali. Maka,
dalam konteks tersebut, ceramah menjadi skill dan seni tersendiri yang tidak
hanya bernilai profan (duniawi), tetapi juga berdimensi sakral (suci) bagi umat
Islam. Ceramah, dalam konteks ajaran Islam tidak lain merupakan perwujudan
titah Tuhan untuk amar
makruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
makruf nahi mungkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Akan
tetapi, untuk ibadah seperti itu, tidak semua orang Muslim mampu menjalankannya
dengan halus, santun, bahkan jenaka seperti yang dilakukan Ghazali. Ia piawai
mengemas ajaran-ajaran Islam dengan bahasa Sunda bagi khalayak sasarannya yang
utama, yaitu penduduk desa di Jawa Barat. Bahasa asli penduduk Jawa Barat
adalah bahasa Sunda, yang dewasa ini digunakan oleh kurang lebih 27.000.000
orang (Julian Millie: 2008).
Bahasa
Sunda termasuk bahasa lokal penduduk Indonesia yang sudah tua, namun bahasa
Sunda menjadi salah satu bahasa yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman (modernitas) seperti yang dilakukan oleh bahasa nasional
Indonesia. Karena pada aktivitas sosial sehari-hari, masyarakat Sunda
kontemporer lebih mengandalkan bahasa Indonesia. Maka, tidak heran jika
beberapa ujaran dalam ceramah Ghazali, baik yang berbentuk rekaman kaset,
apalagi dalam bentuk tulisan, seperti terhimpun dalam buku Agama Rakyat:
Ceramah-ceramah A.F. Ghazali, banyak yang asing bagi generasi muda Sunda
kontemporer.
Maret
2008 lalu sebuah buku unik berjudul The People`s Religion : The Sermons
of A.F. Ghazali (Agama Rakyat: Ceramah-ceramah A.F. Ghazali)
diluncurkan. Buku tersebut merupakan hasil transkripsi dari ceramah-ceramah
sang dai yang selama ini terdokumentasikan dalam bentuk rekaman kaset. Dari
puluhan tema ceramah yang terrekam dalam
kaset, buku yang ditulis Julian P. Millie –peneliti dari Monash University Australia– memilih empat tema sebagai topik yang ditulis, “Ayat-ayat Allah”, “Ngabageakeun Muharam”, “Tobat”, dan “Tugas Risalah”. Hasilnya adalah satu format buku bilingual, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
kaset, buku yang ditulis Julian P. Millie –peneliti dari Monash University Australia– memilih empat tema sebagai topik yang ditulis, “Ayat-ayat Allah”, “Ngabageakeun Muharam”, “Tobat”, dan “Tugas Risalah”. Hasilnya adalah satu format buku bilingual, bahasa Sunda dan bahasa Inggris.
Buku
ini boleh jadi yang pertama dalam jenisnya. Menuliskan ceramah dai kondang
memang sudah banyak dilakukan. Namun, upaya tersebut biasanya dengan mengubah
bahasa lisan (ceramah) menjadi bahasa tulisan. Konsekuensinya, banyak unsur
dalam bahasa ujaran tersebut yang hilang karena harus tunduk pada aturan
gramatika dan sense yang
lazim dalam bahasa tulis. Nah, pada konteks ini, buku tersebut menjadi berbeda. Pasalnya, buku tersebut sepenuhnya menuliskan ceramah Ghazali dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa lisan. Tujuannya, seperti diungkap penulisnya dalam pengantar buku tersebut bahwa format seperti itu untuk menangkap norma-norma kebudayaan dan keagamaan di lingkungan sosial tertentu, yakni masyarakat Sunda. Dengan tetap mempertahankan ungkapan aslinya, maka menuliskan ceramah dalam buku ini merupakan upaya untuk mempertahankan watak lisan dari ceramah tersebut.
lazim dalam bahasa tulis. Nah, pada konteks ini, buku tersebut menjadi berbeda. Pasalnya, buku tersebut sepenuhnya menuliskan ceramah Ghazali dalam bentuk aslinya, yaitu bahasa lisan. Tujuannya, seperti diungkap penulisnya dalam pengantar buku tersebut bahwa format seperti itu untuk menangkap norma-norma kebudayaan dan keagamaan di lingkungan sosial tertentu, yakni masyarakat Sunda. Dengan tetap mempertahankan ungkapan aslinya, maka menuliskan ceramah dalam buku ini merupakan upaya untuk mempertahankan watak lisan dari ceramah tersebut.
Akan
tetapi, cara seperti itu, mentranskrip bahasa lisan, memiliki kelemahan
tersendiri. Hal demikian juga disadari oleh penulis buku ini. Maka, ketika
ceramah itu menjadi tulisan, walhasil, ceramah-ceramah tersebut menjadi asing
bagi pembaca. Konvensi dan kebudayaan yang diungkapkan oleh Ghazali boleh jadi
terbilang baru bagi sejumlah orang. Namun, terlepas dari hal itu, bahasa lisan
memiliki koherensi dan logika yang berbeda dari yang terdapat dalam
tuturan tulisan. Dalam bahasa ujaran, gagasan-gagasan tidak selalu runtut betul dan dialog-dialog yang diciptakan oleh sang dai dengan khalayaknya tidak mudah diungkapkan dalam tulisan.
tuturan tulisan. Dalam bahasa ujaran, gagasan-gagasan tidak selalu runtut betul dan dialog-dialog yang diciptakan oleh sang dai dengan khalayaknya tidak mudah diungkapkan dalam tulisan.
Tradisi
lisan yang identik dengan masayarakat tradisional lebih banyak berbentuk
dongeng, mitos, pantun, dan jampi-jampi yang diwariskan dan dikonservasi
melalui ujaran dari satu generasi ke generasi penerusnya. Namun, sering kali
tradisi tersebut punah di tengah pusaran zaman. Maka dengan itu, masyarakat
tersebut tidak hanya kehilangan satu khazanah bahasa lisan, tetapi juga nilai
dan episteme dari masyarakat penutur bahasa tersebut.
Ceramah
bisa jadi merupakan metamorfosis tradisi lisan dalam masyarakat Sunda yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Terlebih, ceramah yang menggunakan bahasa
lokal seperti bahasa Sunda adalah suatu kekayaan budaya yang menjadi identitas
masyarakat Sunda itu sendiri. Tradisi lisan merupakan cerminan identitas
masyarakat atau golongan tempat mereka hidup. Tentu saja, khazanah tersebut
tidak boleh hilang hanya karena sang penutur, sang dai, meninggal dunia.
No comments :
Post a Comment
Silahkan Komentar